Anton, si brandal cilik punya tabiat mencuri entah dari mana. Ayahnya telah tiada, ibu pun telah lama meninggalkan Anton untuk selama-lamanya. Tinggallah ia sendiri bersama si nenek yang sudah tua renta. Sudah berkali-kali nenek menasehatinya sampai pipinya keriput, bahkan tak segan menghukum si brandal cilik itu agar berhenti mencuri, namun ikrar/janji di bibir, buahnya tetap ingkar.
Pada suatu ketika, nenek berkata kepadanya, "Anton, sudah cukup kuperingatkan kau agar berhenti mencuri. Aku begitu sayang hingga mustahil kubiarkan kau terjerumus terus. Lain kali, bila kau pulang ke sini dengan barang yang bukan milikmu, aku akan ambil satu dari jarum-jarum ini, membakarnya sampai panas membara, lalu aku tikam telapak tanganmu. Tidak mungkin kau lupa akan hal itu." Anton takut dan berhenti mencuri, setidaknya sejenak. Nenek bukan tipe "Habibi” (hari-hari bikin bingung). Kalau bilang A, ia pasti berbuat A.
Astaga! Entah setan mana bertengger lagi, pada suatu hari Anton mencuri lagi. Jarahannya dibawa pulang ke rumah. Mula-mula nenek coba bermain sebelah mata, berusaha tidak mempedulikan hal itu. Tetapi ia tak tahan dan akhirnya berkata, “Anton, mari ke sini coba kuperiksa sakumu!” Pisau lipat, pensil, karet penghapus, bola kecil, dan segepok duit. Astaga! Tak satupun adalah miliknya. “Dari mana kau peroleh barang-barang ini?” selidik si nenek. Hening palsu. Ia tahu dari mana, tetapi lebih aman diam. “Katakan, dari mana dan siapa pemilik barang-barang ini?” Kali ini nenek tidak sabar. "Engkau telah mencuri lagi. Engkau tahu apa kataku, dan engkau tahu kalau aku selalu melaksanakan kata-kataku." Si nenek berlalu, dan Anton mulai merinding.
Di belakang sana jarum disiapkan lalu dibakar sampai panas membara. Muncullah si nenek tertatih-bungkuk. "Nak, ulurkan tanganmu!" Anton gemetar, tidak kuasa ia melawan, ia tahu kesalahannya dan pantas menerima hukuman itu. Nenek berhenti sejenak dan berkata, “Nak, aku ingin kau lihat betapa serius akibat perbuatanmu itu. Engkau pantas menanggung hukuman ini. Tetapi aku mencintaimu karena itu aku mau menanggung hukuman ini untukmu.” la mencampakkan tangan Anton dan membuka telapak tangannya sendiri. Di depan mata Anton, si nenek menorehkan jarum panas itu dalam-dalam, menembus telapak keriput itu. Pedih, panas, luka, membakar tusukan itu. Sambil mengulurkan tangan si nenek berseru, “Anton, lihatlah tanganku. Pandanglah baik-baik. Inilah harga yang harus kau bayar.”
NB: Cerita ini dapat digunakan sebagai ilustrasi dalam renungan Kitab Suci.
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar secara bijaksana dan bertanggung jawab. Terima kasih.