Halaman

Mengasihi dan Mendoakan Musuh. Mungkinkah?

Matius 5:43-45 
"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang yang tidak benar." 

Melihat judul dia atas, mungkin ada dari kita yang merasa familiar dengan kata "mungkinkah". Kata ini mengingatkan kita pada judul lagu Stinky yang populer di era 90-an. Berikut potongan lagunya: Mungkinkah kita 'kan selalu bersama, walau terbentang jarak antara kita ....
Lagu Ini memang tidak mengisahkan tentang mengasihi musuh, tetapi berisi kisah tentang sepasang kekasih yang saling mengasihi namun terpisah oleh jarak. Apakah mungkin mereka terus bersama jika mereka terpisah oleh jarak? Ini mungkin menjadi permasalahan bagi setiap pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh atau long distance relationship (LDR). Jika ada dasar kasih yang kuat dalam hubungan mereka, seberapapun jauhnya raga mereka terpisah oleh jarak, mereka akan tetap selalu bersama. Sebaliknya, jika kasih itu sudah padam, maka seberapapun dekatnya raga mereka, ada jarak yang memisahkan. Apalagi ketika hubungan itu sudah dinodai ketidaksetiaan, ketidakpercayaan, keegoisan, amarah, kebencian dan dendam, maka jarak yang tercipta di antara mereka semakin lebar seperti jurang yang sangat terjal.

Melihat Mat. 5:43-44 di atas, perintah Yesus untuk mengasihi dan mendoakan musuh ini terdengar aneh dan terasa tidak mungkin. Mungkinkah kita mengasihi dan mendoakan orang yang kita benci karena telah mengecewakan, menyakiti, merugikan, bahkan mengancam keselamatan jiwa kita?
Permusuhan bisa tercipta di mana saja dalam kehidupan sosial, baik itu di dalam keluarga, sekolah, pekerjaan, masyarakat, bahkan dalam kehidupan beragama. Selalu saja ada orang yang membuat hidup orang lain menjadi sangat sulit. Permusuhan bisa terjadi karena seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain mulai dari perkara kecil hingga perkara besar. Permusuhan bisa disebabkan oleh kelalaian orang lain, kesalahpahaman, penghinaan, penghianatan, fitnahan, hingga tindakan kekerasan atau kejahatan yang mengakibatkan kekecewaan, sakit hati, trauma, kerugian materi, korban luka, hingga korban jiwa.
Sangat sulit untuk melupakan semua situasi yang mengecewakan, menyedihkan dan mengerikan yang telah kita alami dalam hidup kita yang disebabkan oleh musuh kita. Orang yang dekat secara pribadi dengan kita bisa saja menjadi musuh, apalagi orang yang tidak dekat dengan kita atau tidak kita kenal.

Dewasa ini Gereja Katolik mendapatkan banyak cobaan, mulai dari serangan verbal hingga fisik. Dalam masalah budaya dan moral yang masih terus diperdebatkan hingga saat ini seperti aborsi, eutanasia, pernikahan sesama jenis, kontrasepsi dan hukuman mati, gereja dianggap sebagai penghalang. Namun di sisi lain gereja difitnah dengan berita-berita yang dipelintir oleh media masa dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga menimbulkan kekisruhan tidak hanya di luar gereja, tapi juga di kalangan gereja sendiri. Seperti baru-baru ini, perkataan Paus Fransiskus dalam bahasa Spanyol yang diambil dari sebuah film dokumenter berjudul Francesco, yaitu convivencia civil dipelintir artinya dalam bahasa Inggris menjadi civil union, dan kemudian disimpulkan jika Paus memberi dukungan untuk pernikahan sesama jenis. Berita ini kemudian dengan cepat disebarkan oleh orang-orang yang tidak paham, memiliki kepentingan tertentu, atau kelompok yang tidak senang dengan Paus dan Gereja Katolik.
Dalam bahasa yang sama, orang-orang sering saja tidak mau memahami meskipun sebenarnya mereka paham, apalagi dalam bahasa yang berbeda. Itu bisa disebabkan oleh kebencian atau tunggangan suatu kepentingan. Berikut terjemahan perkataan Paus Fransiskus dalam bahasa Indonesia:
"Orang-orang homoseksual punya hak untuk tinggal di tengah-tengah keluarganya. Mereka juga adalah anak-anak Allah. Kita tidak menyingkirkan dari tengah-tengah keluarga siapapun, termasuk mengucilkan dan membunuh masa depan mereka”. “Yang harus kita lakukan adalah membuat payung hukum sipil hidup bersama. Mereka juga punya hak untuk dilindungi secara hukum." Lalu Paus menambahkan, “Saya mendukung ini”.

Melihat dari konteksnya, Paus Fransiskus tidak sedang berbicara tentang pernikahan sesama jenis, tapi tentang bagaimana kita seharusnya menghargai kaum homoseksual. Paus mengajak kita untuk hidup bersama atau hidup berdampingan dengan mereka secara damai, baik itu dalam keluarga maupun masyarakat, karena mereka juga adalah anak-anak Allah. Mereka juga punya hak untuk dilindungi secara hukum dari sasaran tindakan diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk. Mereka perlu dirangkul dan dibina, bukan dijauhi, dimusuhi bahkan dibinasakan. Domba yang hilang itu perlu diselamatkan, bukan dibiarkan terjebak di tepi jurang yang terjal hingga binasa. Yesus datang bukan untuk memanggil orang benar, tapi untuk orang berdosa, supaya mereka bertobat. Sebab ada sukacita di sorga karena 1 orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita 99 orang benar yang tidak memerlukan pertobatan (lih. Luk. 5:32; Luk.15:7). Jadi, maksud dari frase "convivencia civil" (bahasa Spanyol) atau "civil coexistence" (bahasa Inggris) atau "hidup bersama" ini bukan tentang pernikahan sesama jenis, tapi tentang manusia yang hidup berdampingan antara satu dengan yang lain. Sampai kapanpun juga gereja tidak akan pernah menyetujui pernikahan sesama jenis karena itu bertentangan dengan Alkitab dan ajaran resmi gereja, dan Paus tentu sangat paham dengan itu. Hidup bersama atau hidup berdampingan merupakan frase yang sudah umum digunakan dalam pembahasan terkait manusia yang pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, No man is an island.
Entah apa yang melatarbelakangi mereka memfitnah Paus Fransiskus, entah disengaja atau tidak disengaja, tapi bukan merupakan hal baru ketika gereja diserang. Sejak abad pertama gereja telah diserang sehingga lahirlah para martir dan apologist. Bapa-bapa Gereja terus berjuang membela dan mempertahankan iman dan kemurnian ajaran gereja yang berasal dari Yesus. Dalam perjalanannya yang panjang, gereja telah berhasil melewati begitu banyak tantangan dan cobaan, dan terus bertumbuh dan berkembang hingga saat ini.

Penjelasan lebih lengkap tentang arti convivencia civil dari Paus Fransiskus bisa dilihat dalam link di bawah ini:

Vatikan juga sudah mengklarifikasi dan membantah tuduhan-tuduhan tersebut. Beritanya bisa dibaca dalam link di bawah ini:

Belum reda kontroversi berita dari Paus Fransiskus, dunia kembali lagi dihebohkan dengan berita serangan teroris di Basilika Notre-Dame, Nice, Perancis. Pelaku teror membantai orang-orang yang sedang bersiap mengikuti misa dengan menikam dan menggorok leher para korban. Hingga nafas terakhirnya, para korban mungkin tidak mengetahui apa salah mereka sehingga mereka ditikam dan digorok. Sangat disayangkan pelaku teror menghabisi nyawa sesamanya manusia dengan meneriakan nama Tuhan. Pelaku teror membunuh atas nama Tuhan, padahal Tuhan itu sendiri Maha Rahim, Tuhan yang penuh belas kasih. Apapun motifnya, entah karena sakit hati, balas dendam, dsb, tindakan main hakim sendiri dengan mengambil nyawa orang lain adalah sebuah dosa yang sangat besar. Setiap manusia berharga di mata Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang berhak mengambil nyawa setiap manusia.

Berita selengkapnya tentang serangan teror di Perancis bisa dibaca dalam link berikut ini:

Kesombongan merupakan sumber segala kejahatan yang ada di muka bumi ini. Kesombongan adalah akar dari semua dosa. Kesombongan menyebabkan manusia kehilangan hati nurani dan akal sehatnya. Kesombongan membuat seseorang sakit melihat yang lain naik, tapi senang melihat yang lain jatuh, berusaha naik dengan menjatuhkan yang lain, mencari pembenaran diri bukan kebenaran sejati. Kesombongan menyebabkan manusia sulit mengontrol hawa nafsu, mudah merasa sakit hati, iri hati dan marah. Seluruh rasa itu terus dipendam hingga akhirnya tercipta kebencian dan dendam yang membara. 
Dalam berbagai peristiwa, sikap dan tindakan yang berdasarkan kasih, seperti mengampuni dan mendoakan orang yang bersalah, mengasihi dan menghargai orang yang berbeda dengan kita, sering kali dicari-cari kesalahannya oleh orang-orang yang membenarkan sikap dan tindakan yang hanya berdasarkan kebencian, seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap orang yang bersalah atau berbeda dengan mereka. Kritik yang mereka berikan tidak lagi murni tujuannya untuk membangun, tapi untuk menjatuhkan. Teguran terhadap orang yang dituduh berbuat salah pun tidak lagi berdasarkan kasih, dan tidak lagi murni tujuannya agar dia menyadari kesalahannya, tapi sudah bercampur kebencian, bahkan sudah bermotifkan balas dendam. Mereka terus mencari-cari kesalahan dari sesuatu yang benar demi pembenaran diri, karena kasih dalam diri mereka sudah terhalang oleh tembok kebencian.
Dalam Roma 12:19-21, Rasul Paulus memberikan pengajaran demikian: Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!

Dari fitnah kepada Paus Fransiskus dan Gereja Katolik, serangan teror di Basilika Notre-Dame, Perancis, dan peristiwa serupa yang lain, mungkin membuat banyak orang merasa sakit hati, marah dan kemudian membenci. Bahkan karena begitu marah dan bencinya, sehingga muncul niat untuk balas dendam, tapi mereka masih ingat atau diingatkan akan ajaran Yesus tentang mengasihi sesama manusia, termasuk mengasihi musuh. Setiap saat, kita harus saling mengingatkan ajaran mulia ini, sehingga kita tidak terbawa emosi dan main hakim sendiri, karena sudah cukup banyak hakim di dunia ini. Jika hakim dunia berlaku tidak adil, masih ada Yesus, hakim yang adil, yang akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. Siapakah kita sehingga berani menghakimi? Kita tidak berhak menghakimi dan membalas, karena penghakiman dan pembalasan sesungguhnya hanya milik Tuhan (lih. Rm. 12:19; Ibr. 10:30; Why. 2:23). Sungguh beruntunglah kita dan sepatutnya bersyukur, karena Yesus yang murah hati telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada kita tentang kasih dan kerendahan hati, bahkan terhadap musuh kita.

Dari semua ajaran Yesus, perintah untuk mengasihi musuh ini terdengar aneh dan paling sulit untuk dilakukan. Namun ini adalah perintah Yesus, bukan hanya sebuah saran. Mengasihi musuh bukanlah cita-cita, tapi merupakan gaya hidup. Mengasihi keluarga dan sahabat mungkin sudah mainstream, tapi mengasihi musuh merupakan sesuatu yang extraordinary. Jika kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, apakah jasa kita? Karena orang-orang berdosa pun melakukannya. Jika kita hanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik pada kita, apakah jasa kita? Orang berdosa pun berbuat demikian (lih. Luk 6:32-33).
Perintah Yesus untuk mengasihi musuh ini memanggil kita untuk menjalani hidup kita tanpa kebencian terhadap siapa pun. Setiap kali seseorang berbuat salah pada kita, muncul kecenderungan alami yang dapat menyebabkan kita menjadi tidak sabar, marah dan bahkan pendendam. Kita cenderung mengharapkan yang tidak baik bagi musuh kita, dan senang jika dia mengalami masalah atau musibah, bahkan memanjatkan syukur kepada Tuhan atas penderitaan yang dialaminya. Sebab itu, Yesus memerintahkan kita untuk menjalani cara hidup yang sama sekali berbeda. Bukan dengan mata ganti mata dan gigi ganti gigi, tapi ketika seseorang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu (lih. Matius 5:38-39). Kita tidak dapat menganggap diri kita sebagai murid Yesus yang sejati kecuali kita benar-benar menjalankan perintah ini.

Membalas kebaikan dengan kejahatan adalah sifat iblis, membalas kebaikan dengan kebaikan itu manusiawi, tapi membalas kejahatan dengan kebaikan itu adalah sifat Ilahi. Bagaimana mungkin kita mengaku orang yang beriman kepada Yesus, tapi masih menolak perintah Yesus untuk mengasihi musuh? Bagaimana mungkin kita menerima Tuhan yang penuh kasih dalam hati kita, tapi hati kita masih terhalang kebencian terhadap orang lain? Bagaimana mungkin kita beribadah sambil mengangkat tangan dan memuji Tuhan, menggunakan atribut agama, tapi kita masih membenci orang lain? Bagaimana mungkin kita berlutut dan mohon pengampunan Tuhan, tapi kita sendiri menolak mengampuni orang lain?
Kita boleh membenci, tapi bencilah dosanya, bukan manusianya, sehingga kita tidak melakukan dosa itu. Untuk mengasihi musuh memang membutuhkan perjuangan dan waktu. Mengampuni orang yang bersalah kepada kita tidak hanya dilakukan sekali, tapi dilakukan 70 kali 7 kali yang artinya pengampunan itu tidak terbatas (lih. Mat. 18:21-22). Sebab itu, kita perlu selalu merenung, mengintospeksi diri dan berdoa agar Roh Kudus senantiasa membimbing kita, sehingga kita membukakan pintu maaf bagi musuh-musuh kita.

Yesus sendiri telah memberikan teladan dengan berbagi roti dengan Yudas, orang yang diketahui akan menghianati-Nya. Sanggupkah kita duduk dan makan bersama dengan orang yang kita ketahui akan menghianati kita? Bahkan yang paling ekstrim, Yesus mengampuni dan berdoa bagi orang-orang Yahudi yang telah menyalibkan-Nya dengan berkata, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat (lih. Luk. 23:34). Yesus mengorbankan diri di salib untuk menebus dosa seluruh umat manusia. Sanggupkah kita mengampuni dan mendoakan orang yang menganiaya kita? Sanggupkah kita berkorban nyawa untuk orang yang telah bersalah pada kita?
Ajaran dan teladan Yesus ini diikuti oleh Paus Yohanes Paulus II ketika ditembak seseorang yang bernama Mehmet Ali Agca pada 13 Mei 1981. Setelah sembuh, Paus meminta agar seluruh umat Katolik mendoakan Agca, karena Paus telah mengampuni pria Turki tersebut. Tak butuh waktu lama, Paus sendiri berinisiatif mengunjungi Agca dalam penjara dan mengampuninya, walaupun Agca sendiri belum meminta maaf. Meskipun telah diampuni, tapi Agca tetap harus menjalani masa hukumannya di dalam penjara sesuai hukum yang berlaku. Akibat luar biasa dari pengampunan itu adalah Agca bertobat dan menjalani sisa hidup dengan lebih baik. Dari musuh, Agca menjadi sahabat Paus. 
Semua orang berhak mendapatkan pengampunan dan bertobat karena kita semua adalah anak-anak Allah yang diberikan berkat yang sama: kita berpijak di bumi yang sama, menghirup udara yang sama dan bermandikan cahaya mentari yang sama. Dalam doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan kita demikian, "Ampunilah kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami" (lih. Mat. 6:12). Jadi, sebelum orang yang bersalah kepada kita memohon pengampunan kita, bahkan tanpa permohonan ampun darinya sekalipun, sudah menjadi suatu keharusan bagi kita untuk mengampuninya, sehingga Bapa mengampuni kita juga.

Kisah penembakan Paus Yohanes Paulus II bisa dibaca dalam link berikut ini:

Kita dapat menerapkan perintah mengasihi musuh sesuai dengan cara kita sendiri dan menjadikannya sebagai gaya hidup. Hal pertama yang sebaiknya kita lakukan untuk benar-benar bisa mengasihi musuh kita adalah dengan berdoa, memandang salib Yesus dan terus mengulang-ulang perkataan Yesus, "Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat".
Selanjutnya kita bisa bertindak dengan menelpon, mengirim pesan atau surat kepada orang yang bersalah kepada kita; atau mengunjungi langsung kediamannya dan menyampaikan pengampunan kita kepadanya.
Mungkin ada situasi luar biasa di saat kita merasa tidak mungkin untuk benar-benar memaafkan musuh secara fisik, karena membahayakan diri kita. Meskipun demikian, dalam situasi ekstrim sekalipun, Yesus memanggil kita untuk mengampuni dari hati dan tidak menyimpan kebencian terhadap siapapun.

Allah ingin kita memandang musuh kita seperti Allah memandang mereka. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan belas kasih Allah, sama seperti kita yang juga membutuhkan belas kasih Allah. Mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menyakiti kita, menjadikan kita sebagai anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kita juga murah hati, sama seperti Bapa yang murah hati (lih. Luk. 6:35-36). Dengan mengasihi musuh, maka kita menjadi cermin kasih Allah bagi musuh kita. Kita mengalahkan kebencian dan dendam, dan menjadi semakin serupa dengan Allah yang murah hati. 
Semoga kita selalu menunjukkan kemurahan hati dengan mengasihi dan mendoakan musuh kita. Tuhan pasti memberikan rahmat-Nya bagi kita yang terus berjuang melaksanakan kehendak-Nya. Bagi Tuhan tak ada yang tak mustahil, tak ada yang tak mungkin. Bersama Yesus kita pasti bisa. Semoga demikian. Tuhan memberkati! 🙏

#SelfReminder #SelfIntrospection

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijaksana dan bertanggung jawab. Terima kasih.

OTHER POSTS

TRANSLATE

TOTAL PAGEVIEWS

  • "THANKS FOR YOUR VISIT!"



    logger

LATEST PRAYER POSTS

 
Copyright © GLORIA DEI World
Design by FlexiThemes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com | Modified by Franky