Sekarang ini banyak orang yang otomatis menyamakan apologetika dengan debat yang cenderung kasar dan mengandung unsur kebencian, permusuhan, dsb, sebab ada begitu banyak orang yang berapologetika tidak tahu, melupakan, atau mengabaikan aturan untuk berapologetika dengan baik dan benar sesuai yang tertulis dalam 1 Petrus 3:15-16. Kita diajarkan untuk berapologetika dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni. Namun, kenyataannya orang-orang yang beropologetika sering kali sulit menahan emosi dan terpancing untuk berkata kasar dan menghina, kasih dan rasa saling menghargai itu seperti hilang.
Berdasarkan kenyataan itu maka kebanyakan orang merasa lebih tenang/damai jika tidak berapologetika, atau mungkin karena mereka memang merasa tidak percaya diri untuk berapologetika dan ada ketakutan/kekhawatiran dipermalukan ketika mereka berapologetika, atau juga mungkin karena mereka memang malas untuk belajar dan memperdalam imannya, dll. Banyak juga orang yang tidak suka melihat orang berapologetika dan terlibat dalam diskusi/debat karena adanya kata-kata kasar, penghinaan, dsb, sehingga terasa seperti ada unsur kebencian, permusuhan, dsb, seperti tidak ada kasih di dalamnya. Apalagi jika itu disaksikan oleh orang-orang Kristen khususnya Katolik yang sudah kental dengan ajaran kasih dalam semangat Konsili Vatikan II yang lebih inklusif/terbuka dengan dunia luar. Mereka lebih menyukai ketenangan/kedamaian dan kerukunan daripada keributan dan perpecahan karena membela iman. Malahan ada orang-orang yang beranggapan bahwa agama itu justru menjadi sumber perpecahan, terutama bagi mereka yang atheis dan agnostik.
Oleh sebab itulah maka cara berapologetikanya harus diperbaiki supaya semakin baik dan dewasa. Penting juga untuk tidak menganggap orang yang memiliki kepercayaan berbeda sebagai musuh, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang sangat berat sehingga kita harus mewaspadainya; contohnya orang yang sudah sangat membahayakan nyawa orang lain, dia sering menyebarkan tuduhan, fitnah dan provokasi yang berpotensi terjadinya permusuhan dan kerusuhan. Akan tetapi, jangan lupa ajaran Yesus untuk mengasihi dan mendoakan musuh itu ada, tertulis dalam Alkitab. Ini memang ajaran yang paling berat untuk dilakukan oleh para Pengikut Yesus Kristus yang setia.
Untuk menjadi semakin baik dan dewasa dalam berapologetika memang butuh proses. Cara penyampaian, atau kata-kata dalam berapologetika harus dikemas secara lebih baik dan sopan.
Kita mungkin juga terbawa dengan situasi dan lingkungan di saat berdiskusi dengan orang lain. Ketika kebanyakan orang mulai saling berkata kasar atau menghina, kita jangan ikut-ikutan dan menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar. Emosi itu harus dijaga, sebab biasanya memang ada orang yang akan memancing emosi kita sehingga kita tersinggung, menjadi emosi/marah, dan kemudian mengeluarkan kata-kata kasar. Kita jangan terpancing untuk menghina karena menghina itu merupakan hal yang mudah, yang bisa dilakukan semua orang.
Kebanyakan manusia memang mudah merasa tersinggung dan akan membalas hinaan dengan hinaan karena manusia mempunyai dosa warisan dari manusia pertama, yaitu kesombongan. Namun, jika kita mampu menunjukan kesabaran, kesopanan, etika kita lewat kata-kata yang elegan; di situlah kita mampu menunjukkan kualitas diri kita, level kita yang sebenarnya, yang berbeda dari orang-orang yang suka menghina. Jika mereka terus menghina, berikan peringatan yang sopan, tetapi tegas. Jika mereka masih terus mengabaikan peringatannya, kita bisa saja mengabaikan atau tidak menanggapi mereka lagi. Dalam dunia maya atau media sosial, kita bisa memblokir atau melaporkan mereka jika sudah sangat mengganggu dan membahayakan diri kita dan orang lain. Kita memang seringkali berhadapan dengan orang-orang yang tidak punya niat untuk berdiskusi atau mencari tahu, tetapi niatnya cuma untuk menghina, memfitnah, dan menjatuhkan, atau cuma untuk membuat keributan dan perpecahan. Jangan menurunkan derajat kita dengan membalas penghinaan dengan penghinaan, sehingga terjadilah debat kusir yang tidak berujung dan tidak berkesimpulan.
Saya tahu dan sadar bahwa untuk berapologetika dengan lemah lembut, hormat, dan dengan hati nurani yang murni tidaklah mudah, tidak semudah apa yang dikatakan. Akan tetapi, teori ini bukan tidak mungkin untuk dipraktikkan. Ketika seseorang berapologetika dan terjun langsung dalam diskusi dengan orang yang berbeda keyakinan, justru yang terjadi di lapangan sering kali berbeda dengan teori. Orang yang terlibat langsung dalam diskusi sering terpancing emosinya dan mengeluarkan kata-kata yang kasar. Oleh sebab itu, diperlukan latihan yang berulang kali dalam diskusi jika kita punya niat baik untuk memperbaiki cara kita berapologetika dengan baik dan benar. Niat untuk memperbaiki diri itu biasanya muncul ketika kita sadar dan dengan rendah hati mengakui kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama berapologetika.
Saya sebenarnya sangat senang melihat orang-orang Katolik yang berapologetika karena apologetika masih sangat relevan hingga saat ini mengingatkan banyaknya tuduhan-tuduhan dan berbagai fitnah terhadap Gereja Katolik. Mereka yang suka berapologetika berarti mereka itu terpanggil dan berani untuk membela atau mempertanggungjawabkan iman mereka. Ini sebenarnya merupakan hal yang baik selama tujuannya baik dan dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Apologetika juga berguna untuk menangkal ajaran-ajaran sesat. Akan tetapi, itu sebaiknya dilakukan sesuai dengan apa yang tertulis dalam 1 Petrus 3:15-16, yaitu haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni.
Dengan berapologetika, kita tidak hanya membela iman kita dengan argumen-argumen yang rasional atau logis, tetapi kita juga melatih kepribadian kita untuk semakin dewasa, sabar, rendah hati, mudah mengampuni, tahu etika, pintar mengelola emosi/kemarahan (anger management), dsb. Orang yang berpengetahuan semakin besar seharusnya dibarengi dengan iman yang semakin dalam dan moral yang semakin baik. Damai itu dimulai dari diri sendiri sebelum mengharapkan orang lain berdamai dengan kita. Hargai orang lain terlebih dahulu sebelum kita mengharapkan diri kita dihargai orang lain. Semuanya sangat mungkin terjadi dengan kasih. Terima kasih, Tuhan memberkati 🙏
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar secara bijaksana dan bertanggung jawab. Terima kasih.