Halaman

Hak Angket terkait Pilpres 2024 dan Pemakzulan Presiden

Calon Presiden Anies Baswedan (kiri) dan Ganjar Pranowo (kanan).

Saat ini sedang beredar isu hak angket DPR yang berawal usul Ganjar Pranowo, capres dari PDIP yang menempati posisi ketiga atau paling bawah dalam perolehan suara di Pilpres 2024. 
Apakah hak angket ini merupakan jalan yang tepat untuk membuktikan pelanggaran dalam Pilpres dan bisa membatalkan hasil Pilpres 2024?

Hak angket tidak bisa membatalkan hasil Pilpres/Pemilu. Hak angket DPR hanya dapat ditujukan kepada pemerintah selaku pelaksana kekuasaan eksekutif. Sedangkan KPU merupakan lembaga independen dan non partisan yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. 
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 diatur mengenai penyelenggara Pemilu yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang memiliki sifat nasional, tetap, dan mandiri. 

Sedangkan Hak angket menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu "undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah" yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk lebih jelasnya tentang hak angket, silahkan baca di akhir tulisan ini.

Jika ada pihak-pihak yang menemukan bukti kecurangan atau pelanggaran dalam Pilpres/Pemilu 2024, ada prosedur yang bisa dilalui berdasarkan jenis pelanggarannya, ada undang-undang yang mengaturnya. 
Semua pelanggaran tidak berarti kecurangan, tetapi semua kecurangan berarti pelanggaran.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat 3 (tiga) jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administratif, dan tindak pidana pemilu. 
Berikut ini penjelasannya:

- Pelanggaran kode etik

Pelanggaran kode etik merupakan pelanggaran etika penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan putusannya berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap atau rehabilitasi.

- Pelanggaran administratif

Pelanggaran administratif merupakan pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan pemilu. Pelanggaran administratif pemilu ditangani oleh Bawaslu dan putusannya berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu atau sanksi administratif lainnya sesuai undang-undang pemilu.

- Pelanggaran tindak pidana pemilu

Pelanggaran tindak pidana Pemilu merupakan tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu serta undang-undang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 
Tindak pidana pemilu ditangani oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam forum/lembaga Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). 
Perkara tindak pidana pemilu diputus oleh pengadilan negeri, dan putusan ini dapat diajukan banding kepada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

Terakhir, jika ada perselisihan/sengketa hasil Pilpres/Pemilu maka diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi (MK). 
Kewenangan MK dalam perselisihan hasil pemilu, yaitu Pemilihan presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislative (Pileg), terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Putusan MK bersifat final dan mengikat, itu berarti berkekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan oleh semua pihak.

Pihak yang kalah, yaitu kubu Ganjar-Mahfud dan kubu Anies-Muhaimin, berpotensi juga melakukan pelanggaran. Partai-partai pengusung mereka juga berada dalam pemerintahan (kecuali PKS), mereka berada dalam lingkaran kekuasaan baik di pusat maupun daerah. 
Pihak yang menang juga punya catatan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang kalah.

Jika pihak yang kalah tidak punya bukti yang cukup berat mengenai pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh kubu Prabowo-Gibran, dan tidak bisa membuat banyak suara Prabowo-Gibran dianulir dan turun secara signifikan sehingga pihak yang kalah berpotensi meraih kemenangan, maka sebaiknya ikhlaskan saja dan berikan selamat kepada pemenangnya. Tuntutan/tuduhan itu hanya akan menjadi hal yang sia-sia belaka.

Pemakzulan Presiden 

Apabila hak angket dilakukan terhadap Presiden Jokowi terkait bansos dan cawe-cawe presiden dalam Pilpres/Pemilu 2024 tentu lain lagi ceritanya. Hak angket merupakan hak institusional DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah sesuai Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 20A ayat (2). 
Hal ini dilakukan karena mungkin juga mereka (pihak yang kalah) punya tujuan yang lain, yaitu pemakzulan Presiden.

Bagi yang belum paham, pemakzulan berasal dari kata makzul. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makzul berarti berhenti memegang jabatan; turun takhta. Sementara, pemakzulan berarti proses, cara, perbuatan memakzulkan. Masih merujuk KBBI, memakzulkan ialah menurunkan dari takhta; memberhentikan dari jabatan.
Dengan demikian, pemakzulan terhadap Presiden dapat diartikan sebagai proses memberhentikan Presiden dari jabatannya.

Meskipun demikian, tidak semudah itu memakzulkan Presiden Jokowi sebab ia masih dicintai sebagian besar masyarakat Indonesia. Mayoritas masyarakat yang puas terhadap kinerja Jokowi (yang mencapai 75 hingga 80-an persen menurut hasil survei beberapa lembaga survei terkenal) dan masyarakat yang telah memilih Jokowi dalam Pilpres pasti tidak akan tinggal diam melihat pemakzulan itu. Hal ini tentunya berpotensi besar terjadi perpecahan dan chaos (kekacauan, kerusuhan, dsb). 

Jika bansos dan cawe-cawe presiden dijadikan senjata untuk memakzulkan Jokowi maka itu masih menjadi perdebatan sebab bansos dan cawe-cawe presiden itu dikaitkan dengan Pilpres/Pemilu 2024. 
Jadi, persoalan itu lebih tepatnya diselesaikan melalui Penyelenggara Pemilu yaitu Bawaslu, atau melalui MK.

Proses pemakzulan Presiden membutuhkan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak.

Mengacu Pasal 7A UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam situasi tertentu, yakni:
- Apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya;
- Melakukan perbuatan tercela;
- Apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sementara, proses pemakzulan terhadap Presiden diatur dalam Pasal 7B konstitusi, yakni: 
- Diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
- Pengajuan permintaan DPR ke MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
- Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MPR.
- MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR itu paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.
- Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Jika melihat sejarah, Indonesia punya 3 peristiwa pemakzulan presiden. Peristiwa ini terjadi sebelum MK lahir. MK sebagai lembaga tinggi yudikatif (yang setara Mahkamah Agung) yang menjaga dan mengawal konstitusi baru terbentuk pada tahun 2003. 

Berikut ini beberapa tokoh yang dimakzulkan tersebut:

1. Soekarno, siapa yang tidak kenal dengan Presiden Soekarno, presiden Republik Indonesia pertama ini dijuluki sebagai bapak proklamator. Banyak gebrakan dan segudang prestasi membawa nama negara Indonesia di kanca internasional, beliau berkuasa selama 20 tahun memimpin Indonesia. Beliau jugalah presiden pertama di Indonesia yang dimakzulkan, dengan kasus G30S PKI yang menjerat dirinya. Dengan adanya kasus tersebut MPRS menurunkannya secara resmi. Pasalnya saat itu secara defacto sehingga Soeharto menggantikan sebagai kepala negara. Pemakzulan ini termasuk pengkudetaan secara halus.

2. Soeharto, setelah menggantikan presiden sebelumnya yang telah dikudeta, Soeharto juga lengser dari jabatannya selama 32 tahun sebagai kepala negara. Bapak pembangunan ini mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dengan insiden masa demonstran menduduki gedung DPR/MPR meminta Soeharto turun dari jabatannya karena tidak bisa mengembalikan keadaan yang lebih baik pada krisis ekonomi yang dialami Indonesia, selain itu kepemimpinannya juga dituding adanya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dan hutang negara yang cukup besar.

3. Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gusdur ini, dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Gusdur menjadi kepala negara pada tahun 1999 sampai 2001 menggantikan B.J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil pemilu 1999. Pemilik selogan “gitu aja kok repot” ini dimakzulkan dengan kasus dekritnya yang membubarkan MPR, DPR, dan partai Golkar yang difatwakan oleh Makamah Agung atas pelanggaran Konstitusi.

Apa itu hak angket?

Hak angket sendiri merupakan salah satu dari tiga hak istimewa yang dimiliki oleh DPR. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 20A ayat (2), dalam melaksanakan fungsinya, DPR memiliki tiga hak yang terdiri dari hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.

Perihal tiga hak istimewa DPR tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

Menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Syarat penggunaan hak angket diatur Pasal 199 UU MD3 sebagai berikut:
- Diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi;
- Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit: 
(a) materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan 
(b) alasan penyelidikan;
- Hak angket DPR dapat digunakan apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah (½) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah (½) jumlah anggota DPR yang hadir.
- Apabila usul penggunaan hak angket diterima, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket, yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Namun, jika DPR menolak penggunaan hak angket, usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.


Dari berbagai sumber

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijaksana dan bertanggung jawab. Terima kasih.

OTHER POSTS

TRANSLATE

TOTAL PAGEVIEWS

  • "THANKS FOR YOUR VISIT!"



    logger

LATEST PRAYER POSTS

 
Copyright © GLORIA DEI World
Design by FlexiThemes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com | Modified by Franky