Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dilantik pada 20 Oktober 2019 untuk masa jabatan 2019 hingga 2024. |
Relawan pendukung Jokowi atau Projo atau Cebong (sebutan lawan Jokowi untuk pendukungnya) yang masih percaya dan setia bersama Jokowi kemungkinan besar akan terus ikut dengan pilihan Jokowi.
Isu keretakan hubungan antara Presiden Jokowi dan PDIP memang sudah tercium, sudah ada tanda-tanda yang mengarah ke situ. Semua itu dimulai dengan banyaknya pendukung Jokowi yang tidak senang dengan perkataan Megawati Soekarnoputri, Ketum PDIP, yang berulang kali menyebut Presiden Jokowi sebagai "petugas partai". Megawati juga dianggap merendahkan Jokowi ketika membawakan pidato politik dalam peringatan HUT ke-50 PDIP. Megawati mengatakan bahwa "Jokowi tanpa PDIP kasihan dah". Pernyataan-pernyataan Megawati seperti inilah yang membuat image Jokowi menjadi jelek. Jokowi dianggap sebagai presiden boneka Megawati.
Akhirnya, keretakan itu semakin kentara dengan beredarnya kabar jika Gibran yang masih menjabat sebagai walikota Solo akan dipinang oleh Prabowo sebagai pasangan cawapresnya dalam Pilpres 2024, ketika gugatan usia minimum capres-cawapres menjadi 35 tahun dikabulkan oleh MK.
Yang pasti Jokowi yang sudah sangat berpengalaman dalam pemerintahan akan berada dibelakang mereka untuk mendukung, memberikan masukan yang baik, dan mengingatkan jika ada yang salah.
Bagi saya, tuduhan itu tidak tepat karena presiden dan wakil presiden itu dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk dan diangkat langsung oleh Presiden. Kuncinya ada pada rakyat, apakah akan memilih Gibran atau tidak.
Sejak Gibran dicalonkan sebagai walikota Solo dan Bobby Nasution (menantu Jokowi dan ipar Gibran) dicalonkan sebagai walikota Medan oleh PDIP, isu politik dinasti itu sudah beredar. Akan tetapi, Gibran justru terpilih sebagai walikota Solo, dan Bobby terpilih sebagai walikota Medan. Sekarang, lewat survey, banyak warga Solo yang merasa puas dengan kinerja Gibran. Dengan kata lain, PDIP juga mendukung dan menjalankan politik dinasti saat itu.
Jika Gibran menerima tawaran itu, apakah PDIP akan merestuinya (menjalankan politik dua kaki), atau Gibran harus keluar dari PDIP dan bergabung dengan partai lain seperti Golkar?
Bagi saya dan mungkin bagi sebagian masyarakat Indonesia, tidak penting isu atau tuduhan politik dinasti yang ditujukan kepada Jokowi dan keluarganya. Yang terpenting adalah siapapun yang akan memimpin Indonesia ke depan harus bisa menjadi pemimpin yang baik. Dia tidak melakukan korupsi, membasmi koruptor, dan menegakkan keadilan, dia membuat pembangunan berjalan lancar, ekonomi maju, NKRI yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 terus terjaga, rakyat hidup sejahtera, aman, dan damai.
Jangan sampai gara-gara tuduhan politik dinasti kita mengabaikan dan kehilangan figur yang berpotensi memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, kita justru memilih orang yang hanya pandai beretorika/berteori, tapi tidak pandai mengeksekusi, orang yang hanya akan membuat Indonesia berjalan di tempat, atau membawa Indonesia pada kemunduran bahkan kehancuran.
Pada akhirnya, jika Gibran tidak bisa menjadi cawapresnya Prabowo dengan alasan apapun maka masih ada calon alternatif yang juga sangat diperhitungkan. Masih ada Erick Thohir yang menjabat sebagai Menteri BUMN dan Ketua PSSI, dan Khofifah Indar Parawansa yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Mereka juga orang Nahdlatul Ulama (NU) yang punya potensi besar dipilih oleh warga NU yang suaranya sedang diperebutkan oleh ketiga pasangan capres-cawapres saat ini. Jawa Timur merupakan lumbung suara terbesar dari NU.
Tags: Dunia Opini dan Catatan Editor
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar secara bijaksana dan bertanggung jawab. Terima kasih.