Halaman

Isu Keretakan Hubungan Jokowi dan PDIP, dan Isu Jokowi Melakukan Politik Dinasti

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dilantik pada 20 Oktober 2019 untuk masa jabatan 2019 hingga 2024. 

Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang sering disebut Jokowi hampir selesai, sekarang tinggal menunggu ke arah mana Jokowi akan berlabuh. Apakah Jokowi akan memberikan dukungannya kepada Ganjar Pranowo yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan koalisinya, atau kepada Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan koalisinya? 
Kalau dukungan kepada Anies Baswedan jelas tidak mungkin karena Anies mengusung slogan "Perubahan" yang berarti tidak akan meneruskan program-program Jokowi. 
Relawan pendukung Jokowi atau Projo atau Cebong (sebutan lawan Jokowi untuk pendukungnya) yang masih percaya dan setia bersama Jokowi kemungkinan besar akan terus ikut dengan pilihan Jokowi. 

Isu keretakan hubungan antara Presiden Jokowi dan PDIP memang sudah tercium, sudah ada tanda-tanda yang mengarah ke situ. Semua itu dimulai dengan banyaknya pendukung Jokowi yang tidak senang dengan perkataan Megawati Soekarnoputri, Ketum PDIP, yang berulang kali menyebut Presiden Jokowi sebagai "petugas partai". Megawati juga dianggap merendahkan Jokowi ketika membawakan pidato politik dalam peringatan HUT ke-50 PDIP. Megawati mengatakan bahwa "Jokowi tanpa PDIP kasihan dah". Pernyataan-pernyataan Megawati seperti inilah yang membuat image Jokowi menjadi jelek. Jokowi dianggap sebagai presiden boneka Megawati.

Begitu pun penolakan Timnas Israel oleh para elit PDIP (termasuk Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo) untuk bermain di Indonesia yang menyebabkan FIFA akhirnya membatalkan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, tentu membuat Jokowi kecewa. Jika Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 maka itu merupakan salah satu prestasi/pencapaian yang baik dalam pemerintahan Jokowi (selain Indonesia berhasil menjadi tuan rumah MotoGP untuk pertama kali).

Keretakan itu semakin besar ketika putra bungsu Jokowi, yaitu Kaesang Pangarep, secara resmi bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan kemudian diangkat menjadi Ketum PSI. Sedangkan Putra Sulung Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, tidak diundang dalam pertemuan kepala daerah PDI Perjuangan se-Jawa Tengah padahal Gibran juga merupakan walikota Solo/Surakarta yang terletak di Jawa Tengah. 
Akhirnya, keretakan itu semakin kentara dengan beredarnya kabar jika Gibran yang masih menjabat sebagai walikota Solo akan dipinang oleh Prabowo sebagai pasangan cawapresnya dalam Pilpres 2024, ketika gugatan usia minimum capres-cawapres menjadi 35 tahun dikabulkan oleh MK. 

Sebenarnya tidak menjadi masalah bagi sebagian besar pendukung Jokowi jika Gibran benar-benar menjadi cawapresnya Prabowo. Itu justru lebih baik dan lebih terjamin. Sebuah kombinasi yang bagus antara yang tua, tegas, dan berpengalaman dengan yang muda, energik, dan kreatif. Keduanya merupakan sosok yang nasionalis, pintar, dan berintegritas.
Yang pasti Jokowi yang sudah sangat berpengalaman dalam pemerintahan akan berada dibelakang mereka untuk mendukung, memberikan masukan yang baik, dan mengingatkan jika ada yang salah. 

Soal tuduhan politik dinasti yang dihembuskan kepada Jokowi dan keluarganya ketika MK mengabulkan gugatan batas usia minimum capres-cawapres menjadi 35 tahun? 
Bagi saya, tuduhan itu tidak tepat karena presiden dan wakil presiden itu dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk dan diangkat langsung oleh Presiden. Kuncinya ada pada rakyat, apakah akan memilih Gibran atau tidak.

Jadi, pihak-pihak yang berkeberatan tidak perlu khawatir jika Gibran maju sebagai cawapresnya Prabowo. Jika rakyat tidak suka maka jangan memilihnya, jika rakyat suka maka silahkan memilihnya. Seperti kata Gus Dur, "Gitu aja kok repot." 
Siapapun yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, mereka sudah pasti pilihan rakyat dan harus didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Sejak Gibran dicalonkan sebagai walikota Solo dan Bobby Nasution (menantu Jokowi dan ipar Gibran) dicalonkan sebagai walikota Medan oleh PDIP, isu politik dinasti itu sudah beredar. Akan tetapi, Gibran justru terpilih sebagai walikota Solo, dan Bobby terpilih sebagai walikota Medan. Sekarang, lewat survey, banyak warga Solo yang merasa puas dengan kinerja Gibran. Dengan kata lain, PDIP juga mendukung dan menjalankan politik dinasti saat itu.

Yang jadi pertanyaan, setelah Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat cawapres yang akan mendampingi Prabowo adalah Gibran, apakah Gibran akan menerima tawaran Prabowo, atau tidak?
Jika Gibran menerima tawaran itu, apakah PDIP akan merestuinya (menjalankan politik dua kaki), atau Gibran harus keluar dari PDIP dan bergabung dengan partai lain seperti Golkar?

PDIP sebenarnya bisa saja merestui Gibran untuk menjadi cawapres Prabowo tanpa harus keluar dari PDIP, seperti yang terjadi pada Golkar dan Yusuf Kalla (JK) dulu ketika Jokowi dan PDIP memilih JK berpasangan dengan Jokowi sebagai wakil presiden. Akan tetapi, ini tentu punya konsekuensi yang sangat besar karena Gibran bisa mengganggu perolehan suara Ganjar di Jawa Tengah. Gibran bisa mengambil sebagian suara pemilih di Jawa Tengah (khususnya Solo) yang memang menjadi basis Jokowi dan Gibran. Gibran juga bisa mengambil suara pemilih dari NU yang banyak di Jawa Timur karena Jokowi didukung oleh warga NU khususnya ulama-ulama NU, seperti Samawa (Solidaritas Ulama Muda Jokowi).

Bagi saya dan mungkin bagi sebagian masyarakat Indonesia, tidak penting isu atau tuduhan politik dinasti yang ditujukan kepada Jokowi dan keluarganya. Yang terpenting adalah siapapun yang akan memimpin Indonesia ke depan harus bisa menjadi pemimpin yang baik. Dia tidak melakukan korupsi, membasmi koruptor, dan menegakkan keadilan, dia membuat pembangunan berjalan lancar, ekonomi maju, NKRI yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 terus terjaga, rakyat hidup sejahtera, aman, dan damai.

Jangan sampai gara-gara tuduhan politik dinasti kita mengabaikan dan kehilangan figur yang berpotensi memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, kita justru memilih orang yang hanya pandai beretorika/berteori, tapi tidak pandai mengeksekusi, orang yang hanya akan membuat Indonesia berjalan di tempat, atau membawa Indonesia pada kemunduran bahkan kehancuran.

Pada akhirnya, jika Gibran tidak bisa menjadi cawapresnya Prabowo dengan alasan apapun maka masih ada calon alternatif yang juga sangat diperhitungkan. Masih ada Erick Thohir yang menjabat sebagai Menteri BUMN dan Ketua PSSI, dan Khofifah Indar Parawansa yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Mereka juga orang Nahdlatul Ulama (NU) yang punya potensi besar dipilih oleh warga NU yang suaranya sedang diperebutkan oleh ketiga pasangan capres-cawapres saat ini. Jawa Timur merupakan lumbung suara terbesar dari NU.

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijaksana dan bertanggung jawab. Terima kasih.

OTHER POSTS

TRANSLATE

TOTAL PAGEVIEWS

  • "THANKS FOR YOUR VISIT!"



    logger

LATEST PRAYER POSTS

 
Copyright © GLORIA DEI World
Design by FlexiThemes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com | Modified by Franky